Oleh: Dr. Jasminto

Statistik memang hadir di mana-mana, tetapi tetap terasa asing bagi banyak orang—sebuah paradoks yang mencerminkan hubungan ambivalen kita dengan angka. Di satu sisi, kita mengandalkan statistik untuk memahami dunia, tetapi di sisi lain, kita sering meragukannya, bahkan menolak menjadi bagian darinya. Ungkapan seperti “Saya tidak ingin menjadi sekadar statistik” mengisyaratkan ketakutan bahwa angka hanya akan mereduksi kompleksitas individu menjadi data yang impersonal. Statistik kerap dianggap dingin dan reduktif, seolah-olah ia mengabaikan dimensi manusiawi dari pengalaman hidup. Namun, apakah statistik benar-benar hanya sekumpulan angka tanpa makna? Justru sebaliknya, statistik adalah alat yang, ketika digunakan dengan bijak, dapat membantu kita memahami pola sosial, mengidentifikasi ketimpangan, dan bahkan memberikan suara kepada mereka yang tidak terdengar. Ia tidak menggantikan pengalaman individu, tetapi berfungsi sebagai jembatan untuk melihat gambaran yang lebih besar, menemukan keterkaitan antarperistiwa, dan memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang bagaimana dunia bekerja. Tantangannya bukan pada statistik itu sendiri, melainkan bagaimana kita menggunakannya—apakah kita membiarkannya menjadi sekadar angka yang dingin, atau justru memanfaatkannya untuk memperjuangkan pemahaman yang lebih adil dan inklusif tentang kehidupan manusia.

Statistik berada dalam paradoks epistemologis: di satu sisi, ia dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat digugat, namun di sisi lain, ia juga dipandang sebagai alat manipulasi yang dapat mendukung hampir segala bentuk narasi. Ketika angka berbicara, sering kali kita dipaksa untuk menerima kesimpulan yang tampaknya objektif, seolah-olah tidak ada ruang untuk perdebatan. Namun, skeptisisme terhadap statistik bukanlah hal baru—seperti yang dikatakan Leonard Henry Courtney dalam kutipan yang sering dikaitkan dengan Mark Twain, “Ada tiga jenis kebohongan: kebohongan, kebohongan yang lebih besar, dan statistik.” Pernyataan ini mencerminkan kecurigaan mendasar bahwa statistik bukan hanya refleksi realitas, tetapi juga instrumen yang dapat diarahkan sesuai kepentingan. Jika angka dapat digunakan untuk mendukung narasi yang saling bertentangan, apakah itu berarti statistik lebih merupakan alat politik ketimbang representasi obyektif? Jawabannya bergantung pada bagaimana statistik dikumpulkan, diproses, dan disajikan. Statistik sendiri tidak memiliki bias, tetapi interpretasi dan penyajiannya dapat dimanipulasi untuk menciptakan persepsi tertentu. Oleh karena itu, memahami statistik bukan hanya tentang membaca angka, tetapi juga tentang menelaah konteks di balik data—siapa yang mengumpulkan, bagaimana metode yang digunakan, dan untuk kepentingan apa angka tersebut disajikan. Dalam dunia yang semakin dipenuhi data, literasi statistik bukan hanya keterampilan teknis, tetapi juga sebuah bentuk kewaspadaan kritis untuk membedakan antara angka sebagai refleksi realitas dan angka sebagai konstruksi naratif.

Ironinya, statistik yang sering dijadikan dasar kebijakan juga kerap dijadikan kambing hitam ketika kebijakan tersebut gagal mencapai hasil yang diharapkan. Pemerintah dan pejabat publik, yang pada awalnya menggunakan angka sebagai legitimasi keputusan mereka, terkadang justru menyalahkan statistik ketika realitas tidak sesuai dengan proyeksi mereka. Dalam situasi seperti ini, statistik bukan hanya alat analisis, tetapi juga instrumen politik yang dapat dimanipulasi untuk membentuk persepsi publik. Lebih dari sekadar representasi realitas, angka-angka ini bisa dikendalikan—baik dalam cara pengumpulannya, interpretasinya, maupun waktu publikasinya—agar selaras dengan narasi yang ingin dibangun. Bahkan, adanya seruan untuk melarang menteri melihat data sebelum dipublikasikan menunjukkan bagaimana statistik dapat menjadi senjata dalam permainan kekuasaan. Jika data yang seharusnya berfungsi sebagai refleksi objektif malah digunakan sebagai alat untuk mempertahankan atau memperkuat posisi politik, maka batas antara kebenaran dan propaganda menjadi semakin kabur. Hal ini menegaskan bahwa statistik tidak pernah benar-benar netral; ia selalu beroperasi dalam lanskap sosial dan politik yang kompleks, di mana kepentingan tertentu dapat menentukan bagaimana angka-angka tersebut disajikan dan dipersepsikan. Oleh karena itu, memahami statistik bukan hanya tentang membaca angka, tetapi juga memahami siapa yang menggunakannya, untuk tujuan apa, dan bagaimana data tersebut dapat memengaruhi opini serta kebijakan di dunia nyata.

Statistik, pada dasarnya, adalah entitas netral—ia tidak memiliki agenda, kepentingan, atau bias. Yang menentukan makna dan dampaknya bukanlah angka itu sendiri, melainkan mereka yang mengumpulkan, menafsirkan, dan menyebarkannya. Statistik dapat menjadi alat untuk mengungkap kebenaran atau justru menjadi senjata propaganda, tergantung pada bagaimana ia digunakan dan oleh siapa. Dalam dunia yang dibanjiri data, tantangan terbesar bukan hanya menerima angka, tetapi juga memahami bagaimana angka tersebut dikonstruksi: bagaimana data dikumpulkan, metode apa yang digunakan, siapa yang memiliki kepentingan dalam penyajiannya, dan bagaimana framing statistik dapat mengubah persepsi publik. Oleh karena itu, literasi statistik bukan lagi sekadar keterampilan teknis, melainkan bentuk perlindungan terhadap bias, misinformasi, dan manipulasi. Di era informasi yang semakin kompleks, kemampuan membaca statistik secara kritis menjadi esensial agar masyarakat tidak hanya menjadi konsumen data yang pasif, tetapi juga aktor yang mampu menafsirkan dan mempertanyakan angka dengan kesadaran yang lebih mendalam. Pada akhirnya, bukan statistik yang perlu kita curigai, melainkan cara penggunaannya yang sering kali menyimpang dari prinsip objektivitas dan transparansi.

Pada akhirnya, statistik bukanlah kebenaran absolut, tetapi juga bukan kebohongan murni. Ia berfungsi sebagai cermin realitas yang dapat memperjelas atau justru mendistorsi pemahaman kita, tergantung pada sudut pandang dan cara penggunaannya. Angka-angka ini tidak berdiri sendiri; mereka selalu lahir dari pilihan metodologis, asumsi, dan interpretasi yang membentuk maknanya. Oleh karena itu, alih-alih menerima atau menolak statistik secara membabi buta, kita harus menggunakannya dengan kebijaksanaan—bukan sebagai pengganti pemikiran kritis, tetapi sebagai alat yang memperkaya cara kita memahami dunia. Di tangan yang tepat, statistik bukan hanya sekadar kumpulan angka, tetapi juga instrumen yang membantu kita mengenali pola tersembunyi, memahami kemungkinan di tengah ketidakpastian, dan membuat keputusan yang lebih baik dalam berbagai aspek kehidupan. Kunci utamanya bukan terletak pada angka itu sendiri, melainkan pada bagaimana kita memanfaatkannya dengan kesadaran, skeptisisme yang sehat, dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap konteks yang melingkupinya.