Oleh: Dr. Jasminto

Statistik, dalam bentuk paling purbanya, bukan hanya kumpulan angka di atas kertas, tetapi alat fundamental yang digunakan untuk memahami, mengatur, dan mengendalikan peradaban. Sejak zaman kuno, pencatatan angka bukan dilakukan demi kepentingan akademik semata, melainkan sebagai instrumen untuk memastikan kekuasaan dan ketertiban. Bangsa Babilonia, Mesir, dan Tiongkok menggunakan sensus bukan hanya untuk mencatat jumlah penduduk, tetapi untuk menentukan berapa banyak laki-laki yang dapat dijadikan tentara dan seberapa besar pajak yang harus dibayarkan oleh rakyatnya. Statistik, sejak awal, bukanlah refleksi pasif dari realitas, tetapi juga alat politik yang secara langsung memengaruhi struktur masyarakat, mendefinisikan hak dan kewajiban berdasarkan data yang dikumpulkan. Dalam konteks ini, statistik tidak hanya menjadi metode pencatatan, tetapi juga mekanisme pengaruh dan kontrol—menunjukkan bahwa angka-angka yang tampak objektif sesungguhnya selalu beroperasi dalam kerangka kekuasaan. Seiring waktu, penggunaannya berkembang dari sekadar administrasi pemerintahan menjadi fondasi bagi ilmu pengetahuan dan kebijakan publik, tetapi esensi awalnya sebagai alat pengelolaan manusia dan sumber daya tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari perannya dalam masyarakat modern. Dengan demikian, memahami sejarah statistik juga berarti memahami bagaimana data telah lama digunakan bukan hanya untuk menggambarkan dunia, tetapi juga untuk membentuknya sesuai dengan kepentingan mereka yang memiliki kendali atas angka-angka tersebut.

Di dunia Yunani dan Romawi, sensus berkembang melampaui fungsi administratifnya yang semula sederhana, menjadi alat penting dalam membentuk dan mempertahankan struktur sosial serta politik. Kata census sendiri berasal dari para Censor Romawi, pejabat yang bertugas mencatat jumlah penduduk serta properti mereka, bukan hanya untuk keperluan perpajakan tetapi juga untuk menentukan hak-hak dan kewajiban warga negara. Dalam masyarakat yang sangat berlandaskan hierarki dan hukum, statistik memainkan peran sentral dalam mengatur siapa yang memiliki akses ke kekuasaan, siapa yang berhak atas perlindungan hukum, dan siapa yang harus menanggung beban pajak atau kewajiban militer. Dengan kata lain, statistik di era Romawi bukan sekadar alat untuk mencatat populasi, tetapi juga instrumen politik yang secara langsung membentuk kehidupan masyarakat. Data yang dikumpulkan bukan hanya mencerminkan kondisi sosial, tetapi juga digunakan untuk memperkuat status quo, menegaskan hak istimewa bagi kelas tertentu, serta membatasi partisipasi politik bagi kelompok lain. Dengan demikian, sejak awal sejarahnya, statistik tidak pernah benar-benar netral; ia selalu berkaitan erat dengan kekuasaan dan struktur sosial yang mendefinisikan bagaimana masyarakat diorganisir dan dikendalikan. Pemahaman ini tetap relevan hingga kini, di mana data tidak hanya berfungsi sebagai refleksi realitas, tetapi juga sebagai alat yang dapat menentukan siapa yang mendapat keuntungan dan siapa yang terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.

Seiring waktu, sistem penghitungan populasi yang dimulai di dunia kuno diadopsi oleh negara-negara di Eropa, berkembang menjadi alat yang lebih luas untuk memahami dan mengelola masyarakat. Skandinavia menjadi pelopor dalam memperkenalkan sensus nasional pada pertengahan abad ke-17, menandai langkah awal dalam penggunaan statistik untuk kepentingan yang lebih besar daripada sekadar administrasi militer dan perpajakan. Dengan berkembangnya negara modern, statistik mulai digunakan tidak hanya untuk mencatat jumlah penduduk, tetapi juga untuk membentuk kebijakan sosial dan ekonomi berdasarkan data yang lebih sistematis. Pada titik ini, statistik bertransformasi dari sekadar alat pencatatan menjadi instrumen yang lebih kompleks dan ambisius—bukan hanya untuk memahami masa kini, tetapi juga untuk meramalkan masa depan. Pemerintah mulai menggunakannya untuk mengantisipasi tren demografis, memproyeksikan kebutuhan ekonomi, dan merancang kebijakan kesehatan serta kesejahteraan publik. Statistik tidak lagi sekadar mencerminkan kondisi sosial, tetapi juga menjadi dasar perencanaan dan intervensi, memungkinkan negara untuk mengontrol dan mengarahkan perkembangan masyarakat dengan tingkat presisi yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dengan demikian, perkembangan statistik mencerminkan perubahan dalam cara manusia memahami perannya dalam dunia—dari sekadar pencatatan pasif menuju analisis prediktif yang berusaha mengendalikan ketidakpastian dan membentuk masa depan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka yang memiliki akses terhadap data.

Ketika Amerika Serikat mengadakan sensus pertamanya pada tahun 1790, statistik memperoleh dimensi baru yang lebih demokratis. Sensus tidak lagi sekadar alat negara untuk mengendalikan rakyatnya, tetapi juga sarana untuk memastikan representasi yang lebih adil dalam pemilihan anggota Kongres. Dengan menggunakan jumlah penduduk sebagai dasar distribusi kursi di legislatif, statistik mulai berperan dalam menciptakan sistem pemerintahan yang lebih akuntabel dan berbasis data. Ini mencerminkan pergeseran mendasar dalam cara statistik digunakan: dari instrumen kekuasaan elitis menjadi alat yang, setidaknya secara ideal, dapat menjamin keseimbangan dan keadilan dalam proses politik. Namun, seperti yang telah berulang kali ditunjukkan oleh sejarah, statistik tidak pernah sepenuhnya netral. Siapa yang dihitung, bagaimana mereka dihitung, dan bagaimana data tersebut diinterpretasikan selalu bergantung pada kepentingan yang berkuasa. Keputusan untuk memasukkan atau mengecualikan kelompok tertentu dari proses sensus dapat memiliki dampak besar terhadap distribusi kekuasaan politik dan alokasi sumber daya. Di berbagai titik dalam sejarah, sensus telah digunakan baik untuk memperluas hak-hak demokratis maupun untuk membatasi mereka, menunjukkan bahwa statistik selalu beroperasi dalam ranah yang lebih kompleks daripada sekadar pengumpulan angka. Oleh karena itu, meskipun statistik dapat menjadi alat yang sangat kuat untuk memastikan representasi yang lebih adil, ia juga tetap rentan terhadap manipulasi dan interpretasi yang dapat memperkuat ketimpangan sosial dan politik.

Dari peradaban kuno hingga era modern, statistik telah berevolusi dari sekadar pencatatan jumlah manusia menjadi disiplin ilmu yang membentuk kebijakan, mempengaruhi keputusan, dan bahkan menentukan nasib individu serta bangsa. Namun, di balik perkembangannya yang pesat, pertanyaan filosofis tetap menggantung: apakah statistik benar-benar mencerminkan realitas, ataukah ia sekadar menciptakan ilusi keteraturan dalam dunia yang kompleks dan dinamis? Sejarah menunjukkan bahwa statistik tidak pernah berdiri sendiri; ia selalu digunakan dalam konteks kekuasaan, baik sebagai alat kontrol maupun sebagai sarana untuk memperjuangkan kebebasan dan keadilan. Statistik dapat mengukuhkan hierarki sosial, tetapi juga dapat membuka jalan bagi representasi yang lebih demokratis. Ia dapat digunakan untuk memprediksi dan mengelola, tetapi juga dapat disalahgunakan untuk membatasi dan mengecualikan. Oleh karena itu, memahami asal-usul statistik bukan hanya tentang angka-angka dan metode kuantitatif, tetapi juga tentang bagaimana data telah—dan terus—digunakan untuk menulis ulang sejarah umat manusia. Dalam dunia yang semakin digerakkan oleh data, tantangan utama bukan hanya dalam mengumpulkan dan menganalisis angka, tetapi dalam memastikan bahwa angka-angka tersebut digunakan dengan kesadaran kritis, keadilan, dan tanggung jawab, sehingga statistik tetap menjadi alat yang memperluas pemahaman kita tentang dunia, bukan sekadar alat untuk membentuknya sesuai dengan kepentingan tertentu.