Oleh: Dr. Jasminto

Sebelum adanya sensus nasional, manusia dihitung melalui catatan gerejawi atau parish registers, yang menjadi salah satu bentuk paling awal dari pencatatan statistik populasi. Sejak abad ke-14, wilayah Burgundy, Prancis, telah mulai mencatat kematian dan pernikahan, sebuah praktik yang kemudian berkembang menjadi kewajiban resmi di seluruh Prancis pada abad ke-16, di mana para imam diwajibkan untuk mencatat baptisan, pernikahan, dan kematian jemaat mereka. Di Inggris, langkah serupa dilakukan pada tahun 1538, ketika Thomas Cromwell, kanselir Raja Henry VIII, mengeluarkan perintah bagi semua pendeta gereja untuk mencatat kelahiran, pernikahan, dan kematian dalam jemaat mereka. Catatan-catatan ini tidak hanya berfungsi sebagai dokumen administratif, tetapi juga menjadi sumber data utama bagi penguasa untuk memahami pola populasi, menyusun kebijakan perpajakan, serta mengelola tenaga kerja. Dengan demikian, meskipun belum memiliki sistem statistik modern, masyarakat Eropa telah lama mengembangkan mekanisme pencatatan demografis yang menjadi fondasi bagi sistem statistik yang lebih maju di masa depan. Parish registers, yang pada awalnya hanya berfungsi sebagai dokumentasi gerejawi, secara perlahan berubah menjadi alat bagi negara untuk mengukur dan mengelola populasi, memperlihatkan bagaimana pencatatan statistik selalu berkembang dalam konteks kebutuhan sosial, politik, dan ekonomi.

Namun, seperti banyak sistem birokrasi lainnya, parish registers jauh dari sempurna. Pencatatan ini tidak mencerminkan seluruh populasi, melainkan hanya mereka yang diakui oleh institusi gereja. Kelompok yang menolak otoritas Gereja Anglikan—dissenters, penganut kepercayaan lain, dan bahkan beberapa komunitas imigran—sering kali dikecualikan dari pencatatan resmi. Selain itu, banyak orang miskin juga luput dari sistem ini, karena mereka tidak mampu membayar biaya administrasi gerejawi atau karena hidup mereka dianggap terlalu tidak signifikan untuk dicatat. Dengan demikian, statistik yang dihasilkan dari catatan gereja ini, meskipun tampak rapi dan sistematis, sebenarnya penuh dengan bias dan eksklusi. Pencatatan penduduk dalam sejarah bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang kekuasaan: siapa yang dianggap layak untuk dihitung, siapa yang diabaikan, dan bagaimana data tersebut digunakan untuk membentuk kebijakan serta struktur sosial. Dalam hal ini, sejarah statistik menunjukkan bahwa setiap angka yang dicatat selalu melibatkan keputusan tentang siapa yang masuk dalam narasi resmi dan siapa yang dibiarkan hilang dari catatan sejarah. Dengan memahami keterbatasan ini, kita dapat melihat bahwa statistik bukan hanya alat pengukuran, tetapi juga cerminan dari struktur sosial dan politik yang menentukan siapa yang dianggap penting dalam sebuah masyarakat.

Keberadaan parish registers mencerminkan bagaimana statistik, sejak awal, bukanlah sekadar pencatatan objektif, tetapi juga alat kekuasaan dan pengendalian sosial. Bagi negara dan gereja, memiliki catatan jumlah penduduk berarti memiliki kendali atas masyarakat—baik dalam hal perpajakan, pewarisan, maupun administrasi lainnya. Dengan mencatat kelahiran, pernikahan, dan kematian, institusi-institusi ini tidak hanya mengelola populasi, tetapi juga menetapkan siapa yang diakui secara hukum dan siapa yang dikecualikan. Dalam konteks ini, statistik lebih dari sekadar data; ia menjadi ekspresi dari otoritas—menentukan siapa yang memiliki hak untuk diakui dalam catatan resmi dan siapa yang dibiarkan menghilang dari sejarah. Mereka yang tidak tercatat, baik karena alasan ekonomi, agama, atau sosial, dalam arti tertentu dianggap tidak ada dalam struktur sosial yang lebih luas. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal, statistik tidak pernah sepenuhnya netral atau inklusif; ia selalu beroperasi dalam kerangka kepentingan yang lebih besar, mencerminkan bagaimana kekuasaan mendefinisikan dan mengatur keberadaan individu dalam masyarakat. Dengan demikian, memahami sejarah pencatatan penduduk bukan hanya soal melihat angka-angka, tetapi juga menyadari bagaimana data digunakan untuk membentuk hierarki sosial dan menentukan siapa yang diakui dalam sistem yang lebih besar.

Meskipun memiliki banyak keterbatasan dan bias, parish registers tetap memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan statistik populasi. Dari catatan ini, para ilmuwan mulai mengidentifikasi pola kelahiran dan kematian, memahami tingkat harapan hidup, serta menganalisis perubahan demografi dalam jangka panjang. Dengan data yang terkumpul selama berabad-abad, muncul kesadaran bahwa populasi manusia bukanlah sesuatu yang statis, melainkan mengikuti pola tertentu yang dapat dipelajari dan diprediksi. Secara tidak langsung, pencatatan gerejawi ini membuka jalan bagi metode yang lebih ilmiah dalam memahami populasi, menggeser statistik dari sekadar alat administrasi menuju disiplin ilmu yang lebih luas. Dari sinilah lahir berbagai pendekatan baru, seperti pengukuran tingkat kelangsungan hidup, analisis tren migrasi, serta pemodelan pertumbuhan populasi yang menjadi dasar bagi perencanaan kebijakan publik. Bahkan, ilmu epidemiologi yang kini menjadi pilar dalam kesehatan masyarakat berakar pada analisis statistik populasi yang pertama kali muncul dari pencatatan ini. Dengan demikian, meskipun awalnya terbatas dalam cakupan dan inklusivitasnya, parish registers membentuk fondasi bagi perkembangan statistik modern—membantu manusia tidak hanya dalam mengelola populasi, tetapi juga dalam memahami dinamika sosial dan biologis yang membentuk masyarakat.

Sejarah parish registers mengingatkan kita bahwa statistik bukan sekadar hitungan angka di atas kertas, tetapi juga refleksi dari struktur sosial, ekonomi, dan politik di zamannya. Di satu sisi, statistik membantu kita memahami dunia dengan lebih sistematis, mengungkap pola yang mungkin tidak terlihat secara kasat mata. Namun, di sisi lain, ia juga memiliki batasan yang ditentukan oleh siapa yang memiliki kekuasaan untuk mencatat dan apa yang dianggap layak untuk dihitung. Banyak individu dan kelompok tetap tak terlihat dalam catatan sejarah karena alasan sosial, ekonomi, atau ideologis, menunjukkan bahwa data yang dikumpulkan bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang inklusi dan eksklusi. Oleh karena itu, dalam membaca statistik, kita harus selalu bertanya: siapa yang dihitung, siapa yang tidak, dan apa makna di balik angka-angka itu? Sebab di balik setiap angka yang tercatat, ada kehidupan, kisah, dan keberadaan manusia yang mungkin tidak pernah tertulis dalam sejarah resmi. Statistik tidak hanya membentuk pemahaman kita tentang dunia, tetapi juga menentukan siapa yang diakui dalam narasi historis dan siapa yang tertinggal dalam bayang-bayang data yang tidak pernah dikumpulkan.