Oleh: Dr. Jasminto

Di Inggris abad ke-17 dan ke-18, pencatatan populasi tidak hanya menjadi masalah teknis, tetapi juga persoalan ideologi dan kekuasaan. Dengan semakin banyaknya individu yang beralih ke agama non-konformis—seperti Yahudi, Quaker, dan gereja-gereja independen—pencatatan populasi menjadi alat untuk mempertahankan dominasi Gereja Anglikan dan negara. Mereka yang tidak mengikuti gereja resmi sering kali dikecualikan dari catatan nasional, bukan hanya sebagai konsekuensi administratif, tetapi juga sebagai bentuk pengucilan sosial dan politik. Bagi negara dan gereja, hanya mereka yang tercatat dalam sistem resmi yang dianggap sebagai bagian sah dari masyarakat, memiliki hak-hak legal, serta diakui dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pewarisan, pernikahan, dan akses terhadap layanan publik. Dengan demikian, pencatatan populasi tidak sekadar menjadi alat dokumentasi kehidupan, tetapi juga instrumen yang menentukan siapa yang diakui sebagai bagian dari masyarakat dan siapa yang dianggap “tidak ada” dalam struktur sosial yang lebih luas. Hal ini menunjukkan bagaimana statistik, yang sering kali dianggap sebagai alat objektif, sebenarnya beroperasi dalam kerangka kekuasaan, membentuk realitas sosial bukan hanya melalui angka, tetapi juga melalui keputusan tentang siapa yang dihitung dan siapa yang diabaikan. Dengan memahami dinamika ini, kita dapat melihat bahwa statistik selalu memiliki dimensi politik yang menentukan bagaimana sejarah sebuah masyarakat ditulis dan siapa yang berhak menjadi bagian dari narasi tersebut.

Semakin banyaknya individu yang tidak tercatat dalam parish registers menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah populasi Inggris sedang bertambah atau berkurang? Ketidakpastian ini memicu kekhawatiran mengenai kesejahteraan nasional, kebijakan perpajakan, serta kapasitas negara untuk mempertahankan kekuatan militernya. Tanpa data yang akurat, pemerintah dan masyarakat terjebak dalam spekulasi mengenai keadaan demografi negara. Di tengah kekacauan ini, seorang pemikir bernama John Graunt mengambil pendekatan yang lebih sistematis untuk memahami dinamika populasi. Dengan mengumpulkan dan menganalisis 10.000 catatan gerejawi dari berbagai paroki di Inggris dan Wales, Graunt menyusun data tentang jenis kelamin, usia, dan penyebab kematian, menciptakan salah satu analisis statistik pertama yang berupaya menggambarkan kondisi populasi secara empiris. Pendekatannya bukan sekadar pencatatan administratif, tetapi sebuah langkah revolusioner yang menandai lahirnya statistik populasi modern. Melalui analisisnya, Graunt mulai mengidentifikasi pola dalam kematian dan kelahiran, bahkan membuat perkiraan pertama tentang angka harapan hidup. Karyanya membuka jalan bagi perkembangan lebih lanjut dalam demografi dan epidemiologi, menunjukkan bahwa statistik tidak hanya berfungsi sebagai alat pengelolaan negara, tetapi juga sebagai sarana untuk memahami pola kehidupan manusia secara lebih ilmiah dan berbasis bukti. Dengan demikian, upaya Graunt tidak hanya menjawab kekhawatiran tentang populasi Inggris, tetapi juga meletakkan dasar bagi cara kita memahami data dalam konteks sosial dan kesehatan hingga saat ini.

John Graunt menyebut karyanya sebagai political arithmetick, sebuah istilah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh sahabatnya, William Petty. Pemilihan istilah ini menegaskan bahwa statistik, sejak awal, tidak pernah benar-benar netral—ia selalu berkaitan erat dengan politik dan kebijakan publik. Statistik bukan sekadar kumpulan angka, tetapi alat untuk memahami bagaimana negara berfungsi, bagaimana populasi berkembang, dan bagaimana kebijakan dapat dirancang berdasarkan data yang terukur. Dalam analisisnya, Graunt tidak hanya menghitung jumlah kelahiran dan kematian, tetapi juga meneliti pola kesehatan masyarakat, tingkat kematian bayi, serta dampak penyakit terhadap populasi secara keseluruhan. Dengan mengkaji penyebab kematian, ia tidak sekadar menyusun daftar statistik, tetapi mencoba membaca kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Inggris pada masanya. Pendekatannya memperlihatkan bagaimana data dapat digunakan untuk memahami realitas yang lebih luas—dari kesehatan publik hingga perencanaan kota dan strategi militer. Dengan demikian, political arithmetick tidak hanya memperkenalkan pendekatan kuantitatif dalam memahami populasi, tetapi juga memperlihatkan bahwa statistik adalah instrumen yang dapat membentuk kebijakan dan, pada akhirnya, mengarahkan jalannya sejarah. Warisan pemikiran Graunt dan Petty terus terasa hingga kini, ketika data menjadi fondasi utama dalam pengambilan keputusan di berbagai bidang, dari ekonomi hingga kesehatan masyarakat.

Pendekatan Graunt terhadap statistik mencerminkan perubahan mendasar dalam cara manusia memahami kehidupan dan kematian. Sebelumnya, kematian sering dianggap sebagai takdir ilahi yang tak terhindarkan, sebuah peristiwa yang berada di luar kendali manusia dan hanya bisa diterima dengan pasrah. Namun, melalui analisisnya terhadap angka kematian, Graunt menunjukkan bahwa kematian bukanlah fenomena yang sepenuhnya acak; ada pola yang dapat diidentifikasi, dianalisis, dan bahkan diprediksi. Dengan mengamati tren kematian berdasarkan usia, jenis kelamin, dan penyebabnya, ia mulai mengungkap bahwa faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan memainkan peran dalam tingkat kematian suatu populasi.

Pendekatan ini merevolusi cara manusia memandang kesehatan dan kesejahteraan. Dengan melihat kematian sebagai sesuatu yang dapat dipelajari secara sistematis, Graunt membuka pintu bagi pemikiran bahwa manusia tidak hanya dapat memahami penyebab kematian, tetapi juga mengambil langkah-langkah untuk mencegahnya. Ide ini menjadi dasar bagi perkembangan ilmu epidemiologi dan kebijakan kesehatan masyarakat, yang bertujuan untuk mengurangi angka kematian melalui intervensi medis dan sosial. Dengan kata lain, melalui statistik, manusia mulai melihat kematian bukan hanya sebagai sesuatu yang harus diterima, tetapi sebagai sesuatu yang dapat dikendalikan dan bahkan diperpanjang melalui pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang memengaruhinya. Perubahan ini menandai pergeseran besar dalam pemikiran manusia—dari pasrah terhadap ketidakpastian hidup menuju upaya ilmiah untuk memahami dan mengelola kehidupan dengan lebih baik.

Apa yang awalnya merupakan upaya untuk menghitung mereka yang tidak terhitung akhirnya membuka jalan bagi revolusi dalam pemikiran statistik. Karya Graunt tidak hanya menjadi fondasi bagi demografi dan epidemiologi, tetapi juga memperlihatkan bahwa statistik bukan sekadar alat pencatatan administratif, melainkan cara untuk memahami realitas dengan lebih mendalam. Dengan mengungkap pola tersembunyi dalam kehidupan manusia, statistik memungkinkan kita mengenali keteraturan di balik fenomena yang tampaknya acak, menawarkan ilusi kendali atas dunia yang penuh ketidakpastian. Namun, di sinilah letak dilema filosofisnya: sejauh mana statistik benar-benar mencerminkan realitas, dan sejauh mana ia hanya menyusun narasi yang memberi kesan keteraturan pada sesuatu yang pada dasarnya kompleks dan tak sepenuhnya dapat diprediksi? Statistik, dalam pengertian ini, bukan hanya tentang angka, tetapi juga tentang interpretasi dan konstruksi pemahaman manusia terhadap dunia. Ia beroperasi di antara dua kutub—ketertiban dan kekacauan, pengukuran dan pemaknaan—menjadi jembatan yang menghubungkan upaya manusia untuk menemukan pola dalam realitas yang selalu bergerak dan berubah.